Catatan Pemutaran Film La Terra Trema (Bumi Bergolak) – Bioskop Taman

Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bumi Bergolak. Film ini sebenarnya merupakan hasil adaptasi dari sebuah novel karya Giovani Verga yang berjudul I Malavogia (1881) yang kemudian diubah menjadi format film oleh Visconti menjadi La Terra Trema (1948).


Film ini bercerita tentang keluarga Valastros( nelayan di Aci Trezza, pesisir Timur Sisilia, Italia, dalam tiga alur. Alur pertama adalah tentang ‘Ntoni, anak tertua dari keluarga Valastros, ia memiliki tujuan untuk menyelamatkan nasib nelayan dari penghisapan oleh para tengkulak. Ia memprakarsai pembentukan koperasi bersama nelayan. Ia menggadaikan rumah sebagai modal awal; memiliki kapal, menangkap ikan dan menjualnya secara mandiri.


Alur kedua bercerita tentang keluarga Valastros yang bertahan hidup. Badai laut telah meluluh lantakkan kapal mereka sehingga kemudian para tengkulak dan nelayan lain merasa alam telah melindungi tatanan sosial yang kekal: penghisapan nelayan. ‘Ntoni mencoba untuk tetap bertahan dengan idealismenya untuk tidak berhubungan dengan para tengkulak.


Alur terakhir bercerita bagaimana keluarga Valastros menghadapi pergulatan dengan para pemilik modal (tengkulak). Dalam periode ini keluarga Valastros harus banyak kehilangan materi maupun moril karena berhadapan dengan tatanan sosial yang menindas. Setelah beberapa lama mencoba bertahan dengan idealismenya, akhirnya ‘Ntoni pun kembali kepada tengkulak untuk bertahan hidup. Ia menyadari pentingnya kolektivitas dalam menghadapi tatanan sosial yang tidak berpihak kepada nelayan.

Suasana Pemutaran Film


Membuka diskusi Ogy memulainya dengan membahas tentang neorealis italia, dimana film neorealis ini hadir setelah perang dunia kedua karena hancurnya studio-studio film. Hancurnya studio film mengakibatkan munculnya sebuah bahasa estetika baru di dunia sinema. Sutradara film kemudian mencoba membuat film menggunakan materi yang telah tersedia dalam suasana keseharian. Kasus keseharian dalam film ini adalah bagaimana para tengkulak mengekploitasi para nelayan.


Kalid melanjutkan bagaimana peran buruh (‘Ntoni) sangat penting bagi pemilik modal. Ternyata buruh-buruh yang mempunyai skill merupakan aset bagi pemilik modal, sehingga dalam kasus ini ‘Ntoni yang ketika itu dipenjarakan oleh para tengkulak terpaksa dilepaskan kembali karena mereka merasa adanya penurunan produksi (tangkapan ikan).


Film ini menurut Khalid penting untuk kita tonton, karena melalui fil ini kita dapat melatih nalar kritis dan juga bisa dijadikan sebagai media penyadaran. Kemudian ia mengaitkannya dengan realitas yang terjadi di Kota Bukittinggi, mengaitkannya dengan pegawai restoran yang digaji rendah. Kemudian contoh lain, bagaimana para driver ojek online diperas secara tidak langsung oleh sistem aplikasi itu sendiri. Seperti pemotongan-pemotongan biaya disetiap transaksi mereka. Ia mengatakan ”Dia (korporasi) hidup dari sepeda motornya di driver ojek, dia nggak mau tau dengan ganti oli, beli ban, ini terjadi dan menggurita”.


Kemudian ia melanjutkan dengan membahas kapitalisme dalam industri yang prakteknya dijalankan dengan sistem magang sekian bulan. Lulusan dunia pendidikan menjadi semacam roda penggerak bagi kapitalisme. Seanjutnya Ogy mengaitkan apa yang disampaikan oleh Khalid dengan film: tentang bagaiman kemudian keluaga ‘Ntoni pun terjebak dalam kapitalisme lainnya yaitu Bank. Seperti mencoba untuk lepas dari kapitalisme namun kemudian yang terjadi malah sebaliknya. Menambahkan apa yang disampaikan oleh Ogy, Saya pun teringat dengan salah satu buku yang pernah Saya baca: kenapa kita tidak bisa lepas dari kapitalis ini? Jawabannya adalah karena memang belum ada alternatif model ekonomi lain yang cukup mampu menggantikan model kapitalis ini.


Menyambung pembicaraan, Khalid menyampaikan bahwa inti dari kapitalis itu adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dimana kapitalis itu menguntungkan perseorangan, berbeda dengan sosialis yang keuntungannya itu digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran semua orang. Mengaitkannya dengan film, menurutnya ‘Ntoni sebenarnya bercita-cita untuk kemakmuran kaum nelayan. Namun cita-cita tersebut kandas karena kapal milik keluarga ‘Ntoni hancur diterjang badai, sehingga ia tidak mampu membayar tagihan bank.


Berbicara tentang pinjaman, diskusi pun masuk kepada bentuk metode peminjaman lain: koperasi. Khalid pun menjelaskan sedikit tentang bagaimana Bung Hatta dkk yang melakukan studi mengenai apa itu koperasi. Obrolan pinjam-meminjam terus berlanjut, berdasarkan pengamatannya berkaitan dengan film ini, Di Bukittinggi sekarng ini telah muncul “tengkulak” baru di pasar-pasar tradisional.


Contoh kasus yang disampaikan oleh Khalid adalah tentang pedagang jajanan tradisional di Pasar Bawah yang ternyata banyak dari mereka memilih menjadikan uang pinjaman dari “rentenir” sebagai modal. Jadi perputaran uang yang terjadi disana didominasi oleh uang-uang dari si pemilik modal. Hal ini menurutnya sesuatu yang luput dari pandangan, sebenarnya hal ini bisa menjadi sesuatu yang dapat kita kritisi.


Selanjutnya Ami menyampaikan pendapatnya tentang film ini dari sisi budaya ketika film ini dibuat. Hal yang menjadi perhatian dari Ami adalah tentang komunikasi orang-orang yang ada di dalam film, tentang adanya perbedaan gaya komunikasi orang barat hari ini dengan jaman ketika film ini dibuat. Semacam belum adanya privasi dalam komunikasi, seperti bersorak-sorak dalam berkomunikasi yang jika kita kaitkan dengan jaman sekarang hal itu sudah jarang terjadi. Mengapa hal ini terjadi? Karena memang privasi itu merupakan produk dari modernitas sambungnya.


Sebagai rangkuman, banyak poin-poin penting yang dapat kita ambil dari film ini sebenarnya, menurut saya film ini masih sangat related dengan apa yang terjadi dengan tatanan sosial kita hari ini. Bisa kita lihat di dalam film ini bagaimana para pemilik modal (tengkulak) menindas para pekerja (nelayan) dengan cara memonopoli harga, kemudian pemberian upah murah untuk mereka, atau bagaimana seseorang yang menyampaikan kebenaran (‘Ntoni) dijadikan musuh bersama oleh para penguasa (tengkulak).


Selanjutnya menurut saya film ini merupakan media yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan nalar kritis kita berkaitan dengan realitas sehari-hari, dan juga memberikan cara pandang baru mengenai kaum pekerja.

Faiz Ramadhani
5 Oktober 2019

Kepustakaan

Yumni, A. (30 April 2015). Bumi Bergolak/ La Terra Trema (1948): Sebuah Realisme dalam Keseharian. Indoprogress. LKPI Edisi 26.

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑