Catatan Kuratorial Teater “Memori” Harmen Moezahar Solo Exhibition

Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dimaksudkan pada tema merujuk pada suatu kecenderungan teatrikal yang hadir pada karya-karya Harmen, yaitu keterikatan setiap objek dalam sebuah ‘sandiwara’.
Masing-masing karya merujuk pada sebuah cerita spesifik yang melatari terciptanya setiap karya. Objek-objek yang ada dalam lukisan Harmen memiliki peran masing-masing yang terikat dalam sistem cerita. Masing-masing objek tidak mampu hadir mewakili keseluruhan maksud lukisan tanpa keberadaan objek lain karena kebergantungan perannya pada peran objek lain. Maka setiap karya hampir tidak bebas interpretasi, sebab Harmen sebagai ‘sutradara’ menentukan plot yang menggiring penikmat pada satu penafsiran yang utuh. Agaknya pengalaman harmen yang pernah tergabung dalam kelompok teater selama enam tahun mempengaruhi kecenderungan harmen yang mengangkat beberapa objek yang memiliki peran dan terikat satu sama lain.
Kecenderungan ini tampak pada keseluruhan karya, baik yang berangkat dari cerapan visual maupun imajinasi akan pengalaman pribadi. Pada karya Ngarai keutuhan cerita dibangun oleh keberadaan objek ngarai, pohonpohon, langit, dan objek lainnya yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem cerita dibangun. Kecenderungan teatrikal itu lebih kentara pada karya-karya yang berangkat dari visualisasi imajinasi Harmen akan pengalaman tertentu yang membangun sebuah cerita. Karya Dunia Nenek bercerita tentang orang tua yang mendongeng tentang QS Al-Fiil dengan objek nenek dan
visualisasi tentara gajah. Pada karya Maka Sempurnalah Penderitaannya di Muka Bumi, kecenderungan itu hadir lebih jelas dan spesifik, sebab karya ini berangkat dari kisah hidup seseorang dan diceritakan kembali oleh Harmen dalam lukisannya.
Karya-karya Harmen juga merupakan ilustrasi atas rekaman memori terhadap cerapan visual yang pernah ditangkap, atau imajinasi akan pengalaman yang pernah dirasakan tentang personal baik diri sendiri maupun orang lain. Kecenderungan pemilihan objek juga tidak dapat dilepaskan dari faktor lingkungan yang melingkupi keseharian Harmen, seperti ngarai, masyarakat dan kebudayaan rakyat berburu babi di Koto Gadang. Pada akhirnya karya-karya Harmen berfungsi sebagai catatan dan penanda atas memorinya.
Persoalan teknis bukanlah hal yang esensial dari karyakarya Harmen, sebab Harmen adalah pelukis yang cukup banyak melakukan eksplorasi dengan sedikit pendalaman karakter, walaupun karakter garis dan pemilihan warnanya cukup dapat dikenali. Hal ini penulis sadari ketika Harmen bercerita tentang masing-masing karyanya, bahwa estetika dari karya-karya Harmen adalah ciri khasnya seorang bapak yang mendongeng, atau penyusun naskah sebuah drama. Yang menjadi esensi dari karya-karya Harmen adalah keutuhan cerita yang spesifik dibalik penciptaan masing-masing karya.

Kurator
Teater “Memori” Harmen Moezahar Solo Exhibition
Hidayatul Azmi

 

Pengantar tentang Harmen Moezahar

poster teater mmr

Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya masyarakat banyak mempengaruhi masyarakat lainnya, dan masyarakat adalah segelintir dari manusia yang ada di dunia, dan sejarah perkembangan dunia dilihat dari sosial kultur masyarakat itu, dengan kata lain sejarah kesenian berproses dari masyarakat dan bahwasannya sejarah seni tak lepas dari proses kreatif dari masyarakat itu, bagaimana proses itu tumbuh melalui masyarakat itu sendiri. Begitu pula jiwa seni awalnya mendapat pengaruh, serta mendapat penguatan dari lingkungannya sendiri (lokal) dan kesatuan dari lingkungan itu ialah masyarakatnya. Jika cita-cita seniman sudah berkolaborasi dengan citacita masyarakat, niscaya ciptaan seniman akan bercorak dengan lokalitas atau identitas dari masyarakat, fenomena ini menggambarkan adanya suatu kesinambungan antara individu dan kolektifitas dengan kesadaran yang penuh dari nawacita masyarakat tersebut, bisa jadi ia merepresentasikan suatu realitas atau rekaman tersendiri dengan diiringi oleh pemikiran yang dianggap perlu untuk dikritisi. Hal yang menarik dari Harmen Moezahar adalah semangat kerja budaya yang ia bangun di tengah sepinya nagari Koto Gadang dan penerimaan masyarakat yang masih awam akan bentuk-bentuk kesenian baru. Selama dua tahun, Harmen bersama Sanggar Balai Budaya Oesman Effendi berusaha mengaktifasi kembali gedung milik Oesman Effendi yang telah mati sejak tahun 1985. Sanggar ini bertahan hingga tahun 2017 dan kemudian vakum karena permasalahan SDM.
Kini nasib gedung milik Oesman Effendi dipertanyakan. Bagaimana niat mulia Oesman Effendi yang ingin menumbuhkan seni dari kampung dilanjutkan penerusnya bisa begitu sulit? Namun, dalam kesendirian itu Harmen Moezahar tetap berkarya. Setiap hari setidaknya seniman serba-bisa ini membuat dua sketsa. Harmen masih aktif melukis, bermain musik, dan menulis naskah teater. Agaknya semangat ini yang memantik ketertarikan Ladang Rupa untuk mengadakan pameran tunggalnya. Tanpa bisa dilepaskan dari romantisme perjalanan berkeseniannya, pameran ini bersifat persuasif untuk mengadopsi semangat berkesenian Harmen Moezahar. Layaknya seorang bapak yang mendongengkan kerja sosialnya lewat cerita-cerita di sketsa, Harmen akan menampilkan sandiwara lukisan dan sketsa dalam Teater “Memori.

Manager program
Teater “Memori” Harmen Moezahar Solo Exhibition

Ogy Wisnu Suhandha

Catatan Pemutaran Film La Terra Trema (Bumi Bergolak) – Bioskop Taman

Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bumi Bergolak. Film ini sebenarnya merupakan hasil adaptasi dari sebuah novel karya Giovani Verga yang berjudul I Malavogia (1881) yang kemudian diubah menjadi format film oleh Visconti menjadi La Terra Trema (1948).


Film ini bercerita tentang keluarga Valastros( nelayan di Aci Trezza, pesisir Timur Sisilia, Italia, dalam tiga alur. Alur pertama adalah tentang ‘Ntoni, anak tertua dari keluarga Valastros, ia memiliki tujuan untuk menyelamatkan nasib nelayan dari penghisapan oleh para tengkulak. Ia memprakarsai pembentukan koperasi bersama nelayan. Ia menggadaikan rumah sebagai modal awal; memiliki kapal, menangkap ikan dan menjualnya secara mandiri.


Alur kedua bercerita tentang keluarga Valastros yang bertahan hidup. Badai laut telah meluluh lantakkan kapal mereka sehingga kemudian para tengkulak dan nelayan lain merasa alam telah melindungi tatanan sosial yang kekal: penghisapan nelayan. ‘Ntoni mencoba untuk tetap bertahan dengan idealismenya untuk tidak berhubungan dengan para tengkulak.


Alur terakhir bercerita bagaimana keluarga Valastros menghadapi pergulatan dengan para pemilik modal (tengkulak). Dalam periode ini keluarga Valastros harus banyak kehilangan materi maupun moril karena berhadapan dengan tatanan sosial yang menindas. Setelah beberapa lama mencoba bertahan dengan idealismenya, akhirnya ‘Ntoni pun kembali kepada tengkulak untuk bertahan hidup. Ia menyadari pentingnya kolektivitas dalam menghadapi tatanan sosial yang tidak berpihak kepada nelayan.

Suasana Pemutaran Film


Membuka diskusi Ogy memulainya dengan membahas tentang neorealis italia, dimana film neorealis ini hadir setelah perang dunia kedua karena hancurnya studio-studio film. Hancurnya studio film mengakibatkan munculnya sebuah bahasa estetika baru di dunia sinema. Sutradara film kemudian mencoba membuat film menggunakan materi yang telah tersedia dalam suasana keseharian. Kasus keseharian dalam film ini adalah bagaimana para tengkulak mengekploitasi para nelayan.


Kalid melanjutkan bagaimana peran buruh (‘Ntoni) sangat penting bagi pemilik modal. Ternyata buruh-buruh yang mempunyai skill merupakan aset bagi pemilik modal, sehingga dalam kasus ini ‘Ntoni yang ketika itu dipenjarakan oleh para tengkulak terpaksa dilepaskan kembali karena mereka merasa adanya penurunan produksi (tangkapan ikan).


Film ini menurut Khalid penting untuk kita tonton, karena melalui fil ini kita dapat melatih nalar kritis dan juga bisa dijadikan sebagai media penyadaran. Kemudian ia mengaitkannya dengan realitas yang terjadi di Kota Bukittinggi, mengaitkannya dengan pegawai restoran yang digaji rendah. Kemudian contoh lain, bagaimana para driver ojek online diperas secara tidak langsung oleh sistem aplikasi itu sendiri. Seperti pemotongan-pemotongan biaya disetiap transaksi mereka. Ia mengatakan ”Dia (korporasi) hidup dari sepeda motornya di driver ojek, dia nggak mau tau dengan ganti oli, beli ban, ini terjadi dan menggurita”.


Kemudian ia melanjutkan dengan membahas kapitalisme dalam industri yang prakteknya dijalankan dengan sistem magang sekian bulan. Lulusan dunia pendidikan menjadi semacam roda penggerak bagi kapitalisme. Seanjutnya Ogy mengaitkan apa yang disampaikan oleh Khalid dengan film: tentang bagaiman kemudian keluaga ‘Ntoni pun terjebak dalam kapitalisme lainnya yaitu Bank. Seperti mencoba untuk lepas dari kapitalisme namun kemudian yang terjadi malah sebaliknya. Menambahkan apa yang disampaikan oleh Ogy, Saya pun teringat dengan salah satu buku yang pernah Saya baca: kenapa kita tidak bisa lepas dari kapitalis ini? Jawabannya adalah karena memang belum ada alternatif model ekonomi lain yang cukup mampu menggantikan model kapitalis ini.


Menyambung pembicaraan, Khalid menyampaikan bahwa inti dari kapitalis itu adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dimana kapitalis itu menguntungkan perseorangan, berbeda dengan sosialis yang keuntungannya itu digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran semua orang. Mengaitkannya dengan film, menurutnya ‘Ntoni sebenarnya bercita-cita untuk kemakmuran kaum nelayan. Namun cita-cita tersebut kandas karena kapal milik keluarga ‘Ntoni hancur diterjang badai, sehingga ia tidak mampu membayar tagihan bank.


Berbicara tentang pinjaman, diskusi pun masuk kepada bentuk metode peminjaman lain: koperasi. Khalid pun menjelaskan sedikit tentang bagaimana Bung Hatta dkk yang melakukan studi mengenai apa itu koperasi. Obrolan pinjam-meminjam terus berlanjut, berdasarkan pengamatannya berkaitan dengan film ini, Di Bukittinggi sekarng ini telah muncul “tengkulak” baru di pasar-pasar tradisional.


Contoh kasus yang disampaikan oleh Khalid adalah tentang pedagang jajanan tradisional di Pasar Bawah yang ternyata banyak dari mereka memilih menjadikan uang pinjaman dari “rentenir” sebagai modal. Jadi perputaran uang yang terjadi disana didominasi oleh uang-uang dari si pemilik modal. Hal ini menurutnya sesuatu yang luput dari pandangan, sebenarnya hal ini bisa menjadi sesuatu yang dapat kita kritisi.


Selanjutnya Ami menyampaikan pendapatnya tentang film ini dari sisi budaya ketika film ini dibuat. Hal yang menjadi perhatian dari Ami adalah tentang komunikasi orang-orang yang ada di dalam film, tentang adanya perbedaan gaya komunikasi orang barat hari ini dengan jaman ketika film ini dibuat. Semacam belum adanya privasi dalam komunikasi, seperti bersorak-sorak dalam berkomunikasi yang jika kita kaitkan dengan jaman sekarang hal itu sudah jarang terjadi. Mengapa hal ini terjadi? Karena memang privasi itu merupakan produk dari modernitas sambungnya.


Sebagai rangkuman, banyak poin-poin penting yang dapat kita ambil dari film ini sebenarnya, menurut saya film ini masih sangat related dengan apa yang terjadi dengan tatanan sosial kita hari ini. Bisa kita lihat di dalam film ini bagaimana para pemilik modal (tengkulak) menindas para pekerja (nelayan) dengan cara memonopoli harga, kemudian pemberian upah murah untuk mereka, atau bagaimana seseorang yang menyampaikan kebenaran (‘Ntoni) dijadikan musuh bersama oleh para penguasa (tengkulak).


Selanjutnya menurut saya film ini merupakan media yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan nalar kritis kita berkaitan dengan realitas sehari-hari, dan juga memberikan cara pandang baru mengenai kaum pekerja.

Faiz Ramadhani
5 Oktober 2019

Kepustakaan

Yumni, A. (30 April 2015). Bumi Bergolak/ La Terra Trema (1948): Sebuah Realisme dalam Keseharian. Indoprogress. LKPI Edisi 26.

Koto Gadang; Tapak Seni Rupa Indonsia Catatan Pameran Arsip 99 Tahun Oesman Effendi

_mg_3723

Menutup akhir tahun 2018, Ladang Rupa mengadakan kegiatan pameran arsip yang bertajuk “Pameran Arsip 99 tahun Oesman Effendi” berlokasi di Balai Budaya Oesman Effendi (OE) Koto Gadang bertepatan persis dikampung halamannya. Kegiatan pameran ini diselenggarakan pada 22-29 Desember 2018 yang sebelumnya juga pernah  diselenggarakan di galeri Ibenzani Usman FBS Universitas Negeri Padang sebagai tajuk aktivasi wacana kesenian dan tokoh minang dalam ranah akademik, pameran ini bertujuan untuk menggali lagi pemikiran Oesman Effendi serta tendensi pemikiran kini dalam konteks kontemporer dan juga sebagai kerja sosial terkhusus sebagai pembelajaran bagi kami di forum Ladang Rupa dalam membingkai wacana dan dikeluarkan dalam bentuk output pameran yang dikemas dalam arsip yang memuat wacana kesejarahan, sosial, budaya dan lainnya. Pameran arsip yang dikuratori oleh Hidayatul Azmi kali ini memamerkan arsip-arsip seputar perjalanan Oesman Effendi berupa tulisan-tulisan seputar OE yang didapat dari lembaga arsip yang mengumpulkan rekam jejak seputar OE seperti Indonesian Visual Art Archieve Database (IVAA), dan juga kita juga bisa mendengarkan rekaman ceramah OE, beberapa lukisan, sketsa, dan koleksi piringan hitam OE yang masih tersimpan di rumah keluarganya di Koto Gadang. Seperti yang diutarakan Ami dalam catatan kuratorialnya, nama OE ramai diberitakan dalam surat kabar sejak tahun 70-an karena pernyataan kontroversialnya “seni lukis Indonesia tidak ada”. Dalam catatannya, Ami juga menuliskan bagaimana  OE mereseprentasikan wacana modernitas dimasanya, wacana itu tampak hadir dalam tulisan OE sejak ia memutuskan untuk masuk dalam dunia seni lukis. Menurut Ami, dalam konteks saat ini menjadi penting memahami semangat OE menyingkap dasar-dasar yang mana seni lukis Indonesia. Gedung putih atau yang dinamai dengan Balai Budaya Oesman Effendi merupakan bangunan yang didirikan oleh OE saat ia memutuskan pulang kampung dan mencoba membangun sebuah ruang untuk aktifitas kesenian dan kebudayaan di nagari kelahirannya sendiri sekitar tahun 1972. Gedung yang masih sangat kokoh ini memiliki dua lantai dengan banyak jendela kaca sehingga memperlihatkan bagaimana OE bersama warga memanfaatkan ruang itu dahulunya sebagai tempat pelatihan membatik, melukis, bermusik dan kegiatan kesenian lainnya.

 

Koto Gadang sendiri merupakan nagari yang berada diwilayah administratif Kabupaten Agam, namun secara geografis nagari ini lebih dekat dengan Kota Bukittinggi dan hanya dibatasi oleh Ngarai Sianok. Nagari pengrajin perak ini juga memiliki kebudayaan pertanian yang kuat, terlihat dari sawah warga Koto Gadang yang sangat luas, di daerah ini juga t banyak melahirkan banyak tokoh-tokoh penting seperti Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Rohana Kudus, dan juga Oesman Effendi sebagai pelukis berpengaruh di indonesia.

Pameran arsip ini dibuka oleh Faris selaku ketua pelaksana, bapak Harmen sebagai perwakilan dari keluarga Oesman Effendi, dan Hidayatul Azmi selaku kurator. Pembukaan pameran juga dimeriahkan oleh pertunjukan tabua tasa oleh Saraso, dan performance art oleh Komunitas Sarueh dengan tajuk “Keakuanku”, dan pembacaan essay karya Rusli Marzuki Saria seorang penulis senior oleh Emil Marzam.

kegiatan diskusi diadakan pada keesokan harinya dengan judul “OE Menumbuhkan Seni Dari Kampung”. Diskusi tersebut menghadirkan Ibrahim “Boim” merupakan seorang pengamat seni rupa dan penulis, juga menghadirkan Syhrial Yayan yaitu seorang pelukis senior yang aktif berkarya sampai saat ini. Diskusi ini membahas bagaimana OE bergejolak dimasanya, hal ini terkait dengan lokalitas berkesenian yang ingin dibangun OE dan dimulai dari lokalitas budaya yang beragam. Dalam diskusi kali ini jga membahas tentang bagaimana aktivasi gedung Balai Budaya yang dibangun Oesman Effendi yang sempat vakum beberapa tahun dikarenakan kurangnya tenaga pengurus.

Selain diskusi, juga dilaksanakan kegiatan bincang-bincang seputar Koto Gadang bersama pak Dasril dan Harmen Moezahar dan dilanjutkan dengan sketsa bersama, Koto Gadang tentu menjadi tempat yang nyaman untuk melakukan aktifitas kesenian seperti menggambar bersama karena daerah yang tenang, sejuk, dan memaparkan keindahan alam pedesaan serta realitas sosial penduduknya. Kegiatan ini diikuti oleh teman komunitas dalam dan luar daerah yang menyempatkan hadir pada pameran yang berlangsung selama satu pekan.

Pameran arsip ini juga diselingi dengan kegiatan Bioskop Taman dengan menayangkan film “Marah Di Bumi Lambu” produksi Forum Lenteng Jakarta. Film ini bererita tentang pengorbanan dan tragedi yang terjadi dalam upaya petani mempertahankan wilayahnya dari izin pertambangan yang diberikan pemerintah lokal. Filem dokumenter tersebut memperlihatkan cara arsip yang dimiliki warga bisa bekerja mengkonstruksi rentetan kejadian yang berujung pada pelanggaran HAM di daerah Lambu tersebut ditambah dengan review kejadian dan wawancara dengan masyarakat lokal, dan juga sebagai bukti sejarah dan berbagai tragedi yang terjadi di daerah mereka.

whatsapp image 2018-12-28 at 22.17.27

Malam penutupan pameran di isi dengan penampilan Wanita Ladang yang membacakan puisi dan musik, juga penampilan dari Rifki yang pertama kali membaca puisi dan menyanyikan lagu tentang kenangan, serta penampilan Lalang yang syahdu dan dirindukan. Diakhiri dengan, menikmati musik-musik pilihan dari Tiba-Tiba Disko yang membuat tubuh bergerak mengikuti irama musik. Pameran Arsip 99 Tahun oesman Effendi merupakan pameran arsip pertama di Sumatera Barat yang menampilkan arsip tokoh seni rupa Oesman Effendi. pameran yang diselenggarakan kali ini salah satu tujuannya untuk mengingat kembali tokoh penting Minangkabau beserta gagasannya khususnya dalam dunia seni rupa.

CATATAN WORKSHOP FERMENTASI BUAH “CARA KREATIF DALAM MENGOLAH BUAH MENJADI MINUMAN”

 

whatsapp image 2019-01-03 at 23.08.35

Rabu, 02 Januari 2019 yang lalu Forum Studi Ladang Rupa mengadakan kegiatan dalam sebuah program “Kelas Lasuah” (Kelas Asik), yaitu sebuah kelas dalam upaya pembelajaran bersama ataupun mandiri dalam bentuk lokakarya maupun workshop dengan topik-topik terkini. Pemateri yang dihadirkan bernama Azhar mahasiswa jurusan Seni Murni Universitas Brawijaya Kota Malang, Jawa Timur, ia juga aktif berkegiatan di komunitas  Taman Langit, sebuah ruang kolektif seni rupa di kota Malang.

Bermula bercerita mengenai buah-buahan khas yang ada di daerah masing-masing, dan timbul sebuah wacana untuk mengolah buah menjadi fermentasi dalam bentuk workshop, dalam sejarah yang disampaiaknnya dalam materi workshop, bahwa fermentasi  buah merupakan salah satu cara pengawetan bahan pangan yang sedang banjir atau banyak pada musimnya, seperti halnya dalam fermentesi anggur di Georgia di tahun 6000 SM, selain dalam kegiatan berkeseniannya dan membangun jejaring Azhar pun aktif menekuni ilmu mikrobiologi dalam mengolah buah-buahan menjadi minuman fermentasi yang segar, bergizi dan tahan lama yang dipelajari secara kelompok maupun otodidak di kotanya.

whatsapp image 2019-01-03 at 23.09.14
Azhar menjabarkan sejarah hingga proses workshop fermentasi buah

Fermentasi merupakan hasil dari olahan bakteri, ragi dan jamur yang nanti akan menggubah karbohidrat menjadi etanol dan karbondioksida atau asam amino organik. Di Indonesia sendiri banyak makanan atau minuman yang sering kita konsumsi tampa kita sadari adalah hasil dari proses fermentasi, contohnya seperti tahu, tempe, tapai, kecap, yogurt, dan lainnya, Indonesia sebagai negara agraris yang sangat berlimpah hasil dari sumber daya alam salah satunya buah – buahan merupakan potensi terbesar yang kita miliki, hal ini tercermin dari berbagai macamnya buah buahan tropis seperti apel, sirsak, mangga, salak, jeruk, pisang, nanas dan lainnya, yang sangat memungkinkan apabila kita bisa mengolahnya menjadi minuman yang segar dan tahan lama melalui proses fermentasi, dan hasil dari fermentasi buah buahan ini dikenal dengan nama wine.

Proses pembuatan minuman fermentasi pada workshop kali ini dimulai dengan memotong buah-buahan lalu di taruh di dalam panci bersama campuran air dan gula, kemudian di rebus sampai mendidih, sambil di aduk hingga gula larut, setelah itu di salin ke dalam galon minuman dan memasukan ragi dengan takaran tertentu. Lalu galon atau wadah  yang sudah di beri saluran angin dengan menggunakan pipa dan dimasukan ke dalam wadah yang sudah berisi air sebagai pengunci udara masuk sehingga udara yang di dalam bisa keluar dan udara dari luar tidak bisa masuk kedalam ini bertujuan untuk menjaga proses fermentasi atau peragian buah, selanjutnya diamkan dalam waktu sebulan.

whatsapp image 2019-01-03 at 23.08.35

Buah-buahan yang telah berhasil di buat menjadi minuman fermentasi oleh Azhar diantaranya salak, buah naga, apel, nanas dan lainnya. Tidak perlu khawatir perihal alkohol pada minuman fermentasi. Kandungan alkohol hanya berkisar 2% saja dan tidak akan memabukkan, selain itu minuman fermentasi juga mengandung bakteri baik untuk tubuh, selain itu mengonsumsi makanan atau minuman fermentasi sendiri dipercaya mampu menjaga kesehatan usus, selain itu mikroba pada hasil fermentasi akan membantu melancarkan pencernaan manusia. Seperti keju, yoghurt, dan yakult adalah salah satu contoh hasil fermentasi yang sering ditemui di supermarket.

 

Beny Saputra,

11 Januari 2019

 

Oesman Effendi Menumbuhkan Seni dari Kampung

Membaca eksistensi Oesman Effendi dalam penerawangan masa lalu, seperti menemukan namanya di antara kata-kata dalam lembaran kliping-kliping surat kabar dan majalah yang telah menguning, memahami setiap peristiwa, menghubungkan dan menyusunnya dalam sebuah garis perjalanan hidup. Memang, surat kabar menempati posisi paling penting dalam upaya pembacaan sejarah seni rupa kita. Media publikasi di masa lalu ini menyelamatkan keberadaan sejarah seni rupa Indonesia dengan menyediakan kolom budaya bagi setiap pemberitaan peristiwa kesenian di masa lampau. Sebut lah itu Mimbar Indonesia, Kompas, Berita Buana, Sinar Harapan, Suara Karya, Pelita, dan lain-lain. Untungnya lembaga-lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan Indonesian Visual Art Archive sejak awal aktif mengumpulkan kepingan-kepingan perjalanan seni rupa itu dalam pengarsipan yang cukup rapi dan sistematis.

 

Selama lebih dari dua dekade, nama Oesman Effendi banter dalam pemberitaan di surat kabar sejak tahun 70-an. Polemik yang disebabkannya dengan pernyataan kontroversial, “seni lukis Indonesia belum ada” pada tahun 1969, menyebabkan ia menjadi salah satu tokoh seni lukis yang namanya paling sering disebut dalam pemberitaan. Adu argumen antar pelukis dan kritikus yang dipancing Oesman Effendi berputar tidak jauh sekitar permasalahan ada dan tiadanya seni lukis di Indonesia.

 

Apabila kita menelusuri kembali, jauh sebelum polemik itu, buah-buah pemikiran OE tentang modernisme dan identitas seni lukis Indonesia telah tampak sejak awal ia memutuskan untuk serius mendalami seni lukis lewat beberapa tulisannya dalam surat menyurat dengan Basuki Resobowo tahun 1949. Dapat kita temukan benih pemikiran itu tumbuh dari pemahaman OE tentang modernisme sejak ia membaca buku-buku kebudayaan barat dan menyaksikan pameran-pameran pelukis eropa semasa di Sekolah Menengah. Pemahaman itu berlanjut pada keputusannya untuk melakukan studi intensif terhadap relief candi Borobudur selama sepuluh tahun di Museum Pusat Jakarta dalam rangka pencarian suatu identitas ke-Indonesia-an. Pemikiran itu berbuah pada berbagai sikap kesenian yang tampak pada tulisan-tulisan dan karyanya.

 

Dalam konteks masa kini, menjadi penting untuk memahami semangat OE dengan menyingkap dasar-dasar pemikirannya tentang yang mana itu seni lukis Indonesia. Pemikiran yang akhirnya menghantarkan OE pada keputusan bulat untuk menetap di kampung halamannya Koto Gadang, meninggalkan segala kemapanan di Ibu Kota setelah sekian banyak pencapaian yang ia peroleh. OE memutuskan untuk mudik dan menumbuhkan kesenian di daerahnya, kampung yang ia sebut akar kebudayaan Indonesia.

 

Bersama penggandaan kliping yang kurator peroleh dari lembaga-lembaga tersebut di atas, dipamerkan pula koleksi benda milik Oesman Effendi : lukisan, buku, sketsa, dan piringan hitam yang masih disimpan keluarga. Namun deretan arsip ini belum mampu merepresentasikan garis perjalanan hidup Oesman Efffendi yang utuh. Masih banyak kepingan puzzle perjalanan hidupnya yang belum ditemukan.

 

Hampir tanpa sadar, kita berada di ambang kepunahan akan arsip-arsip berharga. OE sebagaimana hampir sebagian besar orang-orang Minangkabau yang hebat dan penting di masa lampau, turut menjadi tiang peradaban bangsa ini. Beberapa diantaranya perantau, jauh dari kampung dan sepertinya keberadaannya tidaklah dikira sepenting itu di masa depan oleh keluarga. Kebutuhan melestarikan orang-orang hebat ini sering tidak disadari keluarga sebagai pewaris informasi vital,

 

 

atau setidaknya sebab berbagai keterbatasan, penyelamatan akan informasi-informasi itu belum menjadi orientasi utama. Lukisan, tulisan, atau karya-karya lain yang ditinggalkan pun tidak terselamatkan dengan cukup baik. Demikianlah, kita butuh lebih banyak pelaku yang mau bekerja dan menulis. Kita harus bergerak lebih cepat dari laju kerusakan arsip yang berserakan entah dimana dan nyaris punah, dan gugurnya sumber-sumber informasi yang masih hidup.

 

Menyambut 99 tahun eksistensi tokoh seni lukis modern Oesman Effendi yang terus hidup dalam gagasan-gagasannya, Pameran Arsip 99 Tahun Oesman Effendi mengajak kita menyusuri jejak-jejak perjalanan Oesman Effendi dalam garis waktu. Selama pameran berlangsung, diputarkan juga rekaman ceramah Oesman Effendi pada 18 Juli 1976 di Taman Ismail Marzuki, berjudul Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat. Demikianlah, semoga pameran ini dapat memantik wacana untuk melakukan berbagai kerja lanjutan sehubung cita-cita Oesman Effendi : menumbuhkan kesenian dari kampung. Selamat membaca dan menyusur!

Padang, Desember 2018

Hidayatul Azmi

Seni Rupa Akar Tunggang Sinema

 

Catatan Penayangan Roadshow Milisifilm Forum Lenteng

Kali ini Bioskop Taman kedatangan kawan-kawan dari Milisifilem Forum Lenteng yang diwakilkan oleh Robby dan Dhuha. Dalam tour mereka kali ini, Ladang Rupa menjadi salah satu partner selain Kota Padang dan Pekan Baru untuk menayangkan lima filem dari kawan-kawan Milisifilem dan saling berbagi tentang pengetahuan sinema.  Tour penayangan Proyek Filem Hitam Putih yang berlangsung di berbagai kota di Jawa dan Sumatra ini bertujuan untuk saling berbagi tentang bagaimana praktik-praktik produksi visual, baik secara teknis maupun konteks. Seperti tajuk dari proyek Milisifilem, kelima filem yang ditayangkan memang filem hitam putih dengan berbagai narasi yang berbeda. Namun ternyata yang dikemukakan kawan-kawan Milisifilem melalui filem-filem ini bukannlah bentuk narasi, tapi bagaimana mereka menerapkan apa yang sudah dipelajari dari kelas Milisifilem.

Menariknya adalah, bagaimana proses kawan-kawan Milisifilem untuk menghasilkan sebuah karya berbentuk audio visual. Seperti yang dijelaskan Dhuha dan Robby, pada kelas Milisifilem mereka melakukan pendekatan dengan hal yang sangat-sangat mendasar, yaitu garis. Selama beberapa waktu, kawan-kawan milisi film membuat garis-garis sejajar, hingga garis-garis dengan ketebalan yang berbeda-beda. Saat itu mereka diajarkan bawha garis bisa membentuk irama. Tahap pembelajaran Milisifilem selanjutnya adalah dwimatra/nirmana, ilmu paling dasar dalam dunia seni rupa. Berlajut pada pembelajaran sketsa, bagaimana menangkap impresi dan membingkai komposisi dari sebuah objek. Metode-metode tersebutlah yang diaplikasikan dalam proses pengerjaan Proyek Filem Hitam Putih tersebut. Kawan-kawan Milisifilem juga belajar mengeksplorasi garis dengan penggunaan kamera, bagaimana kemunculan garis dengan kerapatan tertentu, intensitas tertentu, dan kecepatan tertentu mampu membangkitkan sebuah emosi. Dhuha menambahkan, kenapa dinamakan Proyek Hitam Putih, karena proses belajar mereka masih ditahap hitam-putih dan belum sampai tahap pengenalan warna, jadi mereka mengerjakan apa yang sudah mereka pelajari.

Filem Into The Dark bercerita tentang seorang aktivis agraria yang diculik. Hampir semua gambar berada dalam box mobil, dengan narasi yang secara linear berada di luar box, lalu masuk ke dalam box, dan akhirnya keluar lagi dari box. Dalam film ini, Dhuha memposisikan kamera sebagai mata bantu untuk penonton. Menurut Ddhuha, dibandingkan dengan memakai adegan kekerasan atau dialog terntentu, ia lebih memilih penggunaan cahaya sebagai intensitas suasana film untuk mencari tau bagaimana perasaan seseorang yang diculik dalam sebuah mobil box. Selain itu kecepatan mobil yang menghasilkan suara getaran juga membantu membangun ketegangan suasana dari narasi yang disampaikan.

Begitu juga dengan filem Karib yang mengimplikasikan garis-garis berirama dalam bentuk gelombang air di kolam berenang. Dari kelima filem yang ditayangkan, filem Aksi Reaksi memiliki teknik yang berbeda dengan keempat filem lainnya, karena visual bergaya kolase dengan teknik stopmotion ditambah dengan beberapa garis-garis. Mia bercerita bahwa filem tersebut terinspirasi dari warkop DKI episode Maju Mundur Kena dan Itu Bisa Diatur.

Robby menuturkan bahwa di Milisifilem mereka belajar bahwa film yang merupakan bagian dari seni, dimana filem sebagai seni terakhir, merupakan kompilasi dari seni-seni sebelumnya, baik itu seni rupa, teater, musik, dan lain-lain. Maka untuk belajar visual filem, mereka melakukan pendekatan dari akar visual itu sendiri, yaitu seni rupa. Milisifilem manjadi pengingat bahwa filem adalah bagian dari seni rupa juga. Dalam Proyek Filem Hitam Putih ini, para peserta Milisifilem juga berangkat dari menentukan sebuah premis. Meskipun tidak dalam bentuk produksi yang mapan, dimana sutradara, penulis, cameraman, dan produser memiliki tugas dan fungsi yang terpisah-pisah, namun pada proyek filem ini semua fungsi tersebut dilakukan secara bersama, karena tim hanya terdiri dari tiga orang.  Dalam filemnya, Cut, Robby mencoba mengekplorasi kemungkinan bagaimana seluloid bekerja dan menjadi penghubung antara proyeksionis dan penonton.

Pada filem Pagi yang Sunsang, yang ingin dihadirkan adalah bagaimana masyarakat sekarang sudah terbiasa dengan sesuatu yang paradoks. Traktor yang lalu lalang di tengah pasar mengangkut sampah dengan jumlah yang sangat banyak setiap harinya. Tapi tentu saja setiap film akan diinterpretasikan berbeda tergantung pengalam si penonton. Seperti yang disampaikan Rangga, bahwa filem ini akan memberi arti yang berbeda di daerah yang berbeda pula, sehingga permasalahan sampah yang diperlihatkan dalam filem ini menjadi isu universal yang bisa diterima diamanapun. Kedatangan kawan-kawan Milisifilem seperti memberikan pandangan yang mungkin luput, dimana pelajaran dasar dari keilmuan seni rupa merupakan akar utama dari sinema

itu sendiri.

 

Berpetualang Lebih Jauh Lewat Petualangan Sherina

Catatan Pemutaran Film Petualangan Sherina – Bioskop Taman

Meskipun sudah dewasa, bukan berarti kita juga mestinya menonton film-film untuk dewasa pula. Terlepas dari film dewasa yang penuh persoalan cinta-cintaan, atau film dengan isu-isu politik, sosial negara, agen-agen rahasia, atau film penuh intrik dan darah sekalipun, ternyata menonton film anak-anak menjadi hal yang menyenangkan. Kali ini bioskop taman menayangkan film semasa saya SD dulu, dan entah kapan trakhir kali menontonnya. Film Petualangan Sherina seolah menjadi ikon untuk mengenang masa kanak-kanak yang nakal dan menyenangkan. Saya rasa tidak ada yang tidak tau film musikan garapan Riri Riza tahun 2000 ini.

Menonton Petualangan Sherina di usia sekarang ini, rasanya seperti melihan album foto masa kecil, atau foto-foto lama yang tersimpan di folder komputer, atau album facebook. Terasa jadul, tapi lucu untuk diingat. Tak heran jika kami sangat menikmati Petualangan Sherina dan setiap lagu yang ada dalam film tersebut, seolah saya juga ikut berpetualang dalam memori masa kecil saya. Mengingat kembali ketika saya bermain layangan di pematang sawah, atau berlarian di kebun bambu sebelah rumah nenek dulu.

Meskipun sebenarnya cerita perualangan Sherina sangat sederhana, yaitu tentang Sherina seorang anak baru di sekolah Sadam, dan mereka merasa bersaing tentang siapa yang harusnya jadi jagoan di sekolah. Namun akhirnya mereka berteman akrab stelah Sherina berlibur ke villa milik keluarga Sadam, dan mereka berdua menjadi korban penculikan seorang konglomerat ibukota yang sedang melancarkan misinya untuk mendapatkan perkebunan keluarga Sadam yang sangat luas. Sherina yang berani menyelamatkan Sadam, dan membongkar otak dibalik penculikan Sadam.

Ternyata point dari cerita Petualangan Sherina menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Ami mengungkapkan bahwa dalam Petualangan Sherina kita bisa melihat bagaimana sistem kapitalis bekerja, dimana tokoh Kertarajasa sang konglomerat dan Ses Natasya menjadi pelaku penculikan dalam film ini. Menurut Ami, jika kita simak Petualangan Sherina, bagaimana seorang anak kecil bisa meruntuhkan keserakahan seorang konglomerat yang melakukan tindak kejahatan demi keberhasilan proyeknya. Dan yang menariknya ketika kejahatan itu terkuak di depan media secara langsung. “Jika dilihat sekarang ini, rasanya itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan” ujar Ami. Menurutnya, hal ini semacam pesan atau harapan seorang Riri Riza yang terselip dalam film Petualangan Sherina, dimana mestinya kita sekarang yang tumbuh bersama Petualangan Sherina lebih berani melawan segala macam bentuk kejahatan sosial.

Menurut  Ogy, Petualangan Sherina yang cukup menarik perhatian di zamannya itu semacam pembaharuan untuk perjalanan perfilman Indonesia yang sempat merosot. Sebelum bermain di film, Sherina sudah terlebih dahulu mengeluarkan album pertamanya di tahun 1999. Menjadikan Sherina sebagai tokoh utama Petualangan Sherina, merupakan upaya Riri untuk menarik perfilman indonesia dari masa-masa terpuruknya. Ogy juga menambahkan, bahwa di tahu 1958 sudah ada film yang menjadikan anak-anak sebagai tokoh utama, yaitu film Jendral Kantjil di tahun 1958 garapan sutradara Nya’ Abbas Akup. Sebelum Jendral Kancil, ada tiga film karya Abbas Akup yang bertema komedi, hanya saja film-film tersebut kurang mendapat tempat di hati penonton. Saat itu, film-film yag dibanjiri penonton adalah film-film dewasa dengan sedikit adegan sensual.

Nanda juga menambahkan, bahwa Petualangan Sherina sudah memperlihatkan bagaimana demokrasi dalam keluarga di tahun 2000 tersebut. Seorang anak SD sudah memiliki hak untuk menyampaikan perasaannya kepada orang tua, tentunya supaya orangtua lebih memahami anak dalam proses mendidik dan tumbuh kembangnya. Petualangan Sherina bukan hanya sekedar film hiburan anak-anak, tapi film edukasi keluarga dimana bukan hanya anak, tapi juga penting untuk orang tua.

Melalui Petualangan Sherina, dapat dilihat bagaimana kontruksi gender dikalangan masyarakat moderen dan terpelajar. Sherina dengan latar belakang ayah seorang insinyur pertanian dimana juga sudah menempuh pendidikan setahun di Jepang, ibu seorang pengaran lagu dan hidup di kota, bukanlah seorang anak perempuan yang manja, dan penakut. Namun sebaliknya, karakter Sherina dibangun menjadi anak perempuan yang berani, senang berpetualang, dan tidak menangis ketika terluka. Sedangkan Sadam, dibalik kenakalanya, ternyata dia adalah anak laki-laki yang manja yang hidup dilingkungan pedesaan. Sherina menjadi sosok hero yang berani melawan orang dewasa sekalipun, dan karakter Sherina sendiri jelas tidak dibuat-buat. Ada semacam dobrakan-dobrakan yang dibentuk oleh Riri Riza dalam film musikalnnya ini.

Petualangan Sherina bukan hanya sekedar petualangan anak-anak yang menjelajah hutan dan meyelamatkan diri dari penculik yang meminta tebusan, lebih dari itu Petualangan Sherina menjadi pintu masuk untuk petualang yang lebih jauh dan lebih luas lagi, petualangan masa lalu dan masa depan. Petualangan tanpa batas ruang dan waktu.

“Saya dan Perawan” , Alih-Alih Sensulitas Perempuan

oleh : anggy rusidi

Film sebagai media komunikasi yang bersifat audio visual, tentu saja memiliki pengaruh terhadap para para penontonnya. Sebagai karya seni, film menjadi media untuk menyampaikan ide dan media untuk melakukan ekperimen yang sekarang banyak dikenal dengan film ekperimental. Maksud dari film eksperimental sendiri adalah film sebagai labor percobaan untuk mengekplorasi dengan bebas ide, gagasan, serta keresahan subjektifitas si pembuat film sendiri.

Film “Saya dan Perawan” karya Gangga Lawranta, merupakan film pendek, dimana sutradara bereksperimen dalam karyanya tersebut. tidak hanya dalam penggarapannya saja, tapi juga dalam penyajiannya. Film ini dihadirkan dalam bentuk instalasi video, dan dipamerkan dalam ruang pameran, bukan dalam ruang menonton yang dikhususkan untuk menonton berjamaah. Sutradara mendisplai karyanya ini menggunakan manikin dengan pakaian perempuan  yang sama dalam filmnya, sedangkan film tersebut ditayangkan pada sebuaah layar kecil yang diletakakn dibawak kaki manikin, sehingga tidak memungkinkan untuk ditonton secara masal, tapi ditonton perorangan. Pengunjung yang ingin menonton, akan mengintip kebawah rok manikin untuk dapat melihat film eksperimental tersebut.

Dalam filmnya, sutradara ingin menangkap respon tentang isu yang sengaja dilemparkan pada masyarakat ramai dalam bentuk performen art, yaitu persoalan keperawanan. Seperti kebanyakan film eksperimental, film ini tidak memiliki plot, namun memiliki struktur. Film “Saya dan Perawan”ini seperti video social eksperment karena bersinggungan dengan struktur sosial masyarakat tempat film ini digarap, yaitu kota Padang Panjang yang dikenal dengan kota Serambi Mekkah. Film berdurasi kurang lebih empat menit ini, menampilkan seorang talent perempuan bergaun merah, dengan makeup yang cukup mencolok dan rambut yang terurai panjang berjalan di tengah keramaian pasar dengan mengalungkan kertas bertulisakan saya tidak perawan. Jelas tampak dalam film ini berbagai ekspresi masyarakat melihat seorang perempuan dengan dandanan mencolok berjalan ditengah keramaian pasar sambil mengalungkan tulisan berisi kata-kata yang masih dianggap tabu dalam masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan pemaparan sutradara, film ini mencoba untuk menghadirkan isu seputar persoalan keperawanan  dalam bentuk tokoh perempuan yang dihadirkan. Sedangkan menghadirkannya dalam bentuk video instalasi bermaksud untuk memberikan efek psikis yang berbeda. Dengan karyanya ini, Sutradara ingin menyampaikan bahwa berbicara tentang perempuan, bukan hanya persoalan seksualitas saja, tapi banyak isu yang dapat berkembang.

Karya yang berudul “Saya dan Perawan” ini, tentu memberi berbagai sudut pandang yang berbeda-beda kepada khalayak ramai. Terlebih lagi performance dari talen yang cukup memberi efek chaos di masyarakakat, tidak hanya situasi pasar, namun juga merambah ke sosial media. Bicara soal ketidakperawanan secara umum adalah terjadinya penetrasi atau lebih dikenal dengan berhubungan intim. Maka dari itu, keperawanan identik dengan seksualitas.

Dalam masyarakat indonesia, keperawanan merupakan simbol dari kehormatan seorang perempuan, sedangkan kata tidak perawan identik dengan hubungan intim antara laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan pernikahan. Kata tidak perawan memang masih dianggap tabu dalam prespektif masyarakat daerah khususnya, karena berkaitan dengan kultur sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tidak perawan juga identik dengan tingkah dan perilaku seorang perempuan yang dianggap tidak bisa menjaga kehormatanya, atau masyarakat menganggapnya sebagai perempuan yang tidak suci.  Menurut pandangan saya, karya ini seperti memberi pembenaran terhadap image yang kemungkinan besar ada dalam stigma masyarakat tentang bagaimana figur seorang perempuan yang tidak perawan dalam konotasi negatif. Memaparkan kata tersebut kehadapan halayak ramai bisa jadi bertujuan untuk memecah tabu tersebut, agar masyarakat lebih peduli dengan kesehatan reproduksi, atau pendidikan seks usia dini. Tapi apakah hal tersebut cukup efektif?

Persoalan perawan atau tidaknya seorang perempuan, hakikatnya adalah hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Perempuan memiliki hak penuh atas dirinya terlepas dari kontrol sosial yang dibentuk oleh sistem patriarki, yang membentuk stigma-stigma negatif terhadap ketidakperawanan dan terpatri dalam benak masyarakat sehingga menjadi sebuah kontrol untuk perempuan sendiri. Nyatanya secara langsung atau sengaja sutradara menghadirkan figur yang secara simbolik tercipta dalam stigma masyarakat. Dapat dikatakan bahwa sutradara memberikan pembenaran atas stigma tersebut.  Simbol itu melekat pada talent dalam film “Saya dan Perawan” itu sendiri, seperti pada pemilihan warna merah yang dipakaikan pada talent, yaitu gaun berwarna merah, dan lipstik merah. Merah lebih melambangkan sensualitas ketimbang lambang feminim seorang perempuan. Selain itu perempuan dengan rambut panjang terurai dan make up berlebihan, juga menitik beratkan pada sensualitas, serta perilaku yang tidak sesuai dengan tabiat untuk daerah seperti Padang Panjang.  Di film ini tampak masyarakat Padang Panjang, khususnya perempuan-perempuan berkerudung melihat aneh, karna figur yang sangat mencolok ditambah lagi dengan kertas bertuliskan saya tidak perawan. Seperti yang disampaikan sutradara bahwa tokoh perempuan dalam film ini adalah perlambangan isu yang ingin dikemukakan, tapi apakah isu yang terpaparkan? Atau malah menegaskan serupa apa image perempuan yang sudah tidak perawan?

Pendisplaian karya ini juga didominasi dengan warna merah yaitu tirai berwarna merah, dan tak tanggung-tanggung sutradara memakaikan g-string berwana merah pada manikinnya. Jika menurut sutradara mendisplai seperti itu memberikan efek psikis yang berbeda, juga tidak tertutup kemungkinan bahwa hal tersebut memberi efek seksual tertentu bagi para penontonnya. “Saya dan Perawan” bagi saya adalah karya yang secara tidak langsung mengeksploitasi perempuan dengan menghadirkan figur perempuan tidak perawan dengan sedemikian rupa. Akan berbeda jika figur yang hadir dan mengalungkan tulisan saya tidak perawan adalah perempuan dengan tampilan biasa-biasa saja, dengan pakaian yang mungkin dipakai sehari-hari, dengan make up yang biasa atau tanpa make up sekalipun. Karna persoalan keperawanan adalah persoalan perempuan secara universal, bukan persoalan perempuan dalam figur tertentu. Selain itu menurut saya karya ini malah bukan memecahkan tabu, atau mematahkan stigma negatif di masyarakat tentang perawan dan tidak perawan, tapi malah menegaskannya. Karna film ini merupakan karya seorang laki-laki yang berbicara soal perempuan, maka karya ini menggambarkan domimasi patriarki dalam pembentukan stigma terhadap kehidupan perempuan yang akan menekan ruang gerak perempuan atas dirinya sendiri. Akhirnya “Saya dan Perawan” sebagai hasil ekspermen dari sutradara hanya berbicara tentang perempuan dalam kacamata laki-laki yang tidak jauh dari persoalan seksual saja.

*tulisan ini sebagai respon dari karya “Saya dan Perawan” oleh Gangga Lawranta yang dipamerankan pada 4-7 September 2018 di Gdg Nusantara ISI Padang Panjang.

Parak Ria Open Studio

IMG-20180911-WA0005

Merayakan ruang berkegiatan baru dan sebagai pemantik awal semangat berkreatifitas di tempat dan suasana baru ini, Ladang Rupa akan mengadakan open studio dengan tajuk Parak Ria pada :

Waktu : 12 – 16 September 2018
Tempat : Ruang Sekretariat Baru Ladang Rupa, Jalan Basa Nan Kuning, Kel. pulai Anak Air, Kec. Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi. (Di samping SDN 03 Pulai Anak Air)

Pameran Parak Ria akan menghadirkan karya-karya seniman :
Leon Yansen, Ogy Wisnu, Agung Sefitra, Bbverb, Angga Elpatsa, Solihin, Dika Adrian, Andre, Dxx, Bayu Rahmad T, Benny Saputra, Rocky Asa Ferdian, Agung Budiman, Harmen Moezahar, M. Fadly, Anggy Rusidi, Alex Fitra J, Sastra Hadi K.

Selama 5 hari, Parak Ria Open Studio akan digelar bersama rangkaian kegiatan workshop berkebun.

Silakan simak kiriman dari instagram @ladangrupa untuk info selanjutnya

 

 

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑